Bangkitnya BATIK LAWEYAN........  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

*Wahyu Haryo PS

Perjalanan sejarah memperlihatkan, eksistensi Kampung Batik Laweyan berkali-kali digerus oleh kekuatan luar yang tidak menghendaki kekuatan ekonomi yang digalang kaum perempuan Mbok Mase ini terus bertengger.

Cerita rakyat dan stereotyping dalam bentuk hukuman lawe dan perempuan Bahu (baca: bau) Laweyan yang mendatangkan bencana bagi suaminya, pernah diembuskan pihak keraton untuk melawan dominasi Mbok Mase. Akibatnya, penghuni Kampung Batik Laweyan serasa dikucilkan dari lingkungan sekitarnya.

Belum lagi posisi tawar ekonomi Kampung Batik Laweyan juga pernah dimanfaatkan untuk kepentingan dukungan politik semasa kabinet parlementer. Kekuatan kongsi dagang di sana juga pernah diadu domba dengan kekuatan kongsi dagang China, yang dirancang oleh Belanda.

Terakhir, kejayaan Kampung Batik Laweyan benar-benar tidak bisa dipertahankan saat kapitalisasi industri batik semasa pemerintahan Orde Baru. Pemodal asing dan kroni Orde Baru masuk ke wilayah di sekitar Laweyan di Sukoharjo dengan teknologi printing yang jauh lebih efisien, cepat, berproduksi secara massal, dan murah.

Teknologi ini jelas bukan tandingan batik tulis dan cap yang ada di Laweyan. Seketika, batik printing dari pemilik modal besar mampu menguasai pasar batik di mana-mana. Batik Laweyan kalah bersaing sehingga kejayaan batik Laweyan tinggal nama.

Suatu kali saya kirim batik ke Surabaya, kok ditolak terus. Lalu saya ajak suami saya ke Pasar Turi di Surabaya. Di sana saya sampai tidak bisa ngomong. Di mana-mana batik berjubel sampai gudangnya luber. Pedagang di sana mengatakan mendapat pasokan dari Jakarta, tak harus membayar dulu seperti kalau membeli dari kami. Mereka digelontor batik ratusan kodi tanpa harus bayar. Gudang mereka sampai tidak muat. Melihat itu kaki saya lemas. Saya menangis. Ke mana lagi kami harus menjual produk kami, ujar Mulyani (69) dengan suara tersendat dan matanya pun basah.

Maka, pada akhir tahun 1994 pabriknya tutup, dengan korban sekitar 100 karyawan yang harus menganggur mendadak. Mulyani bisa jadi salah satu potret Mbok Mase, di mana dia menjanda dari usia 39 tahun dan harus membesarkan tiga putranya sendirian. Kini ketiga putranya sudah selesai pendidikan tinggi dan mapan secara ekonomi.

Menurut dia, produsen batik di Jakarta dengan batik printing-nya mampu memproduksi ratusan kodi sehari, sementara batik cap Laweyan hanya 20 kodi-30 kodi sehari. Bahkan batik tulis memiliki waktu proses sebulan hingga empat bulan.

Kenyataan ini membuat orientasi orang Laweyan terhadap anak-anaknya berubah. Mulyani, yang merupakan generasi ketiga salah satu kerajaan batik di Laweyan milik Haryono, menuturkan, semasa kejayaan batik Laweyan, anak-anak mereka dididik untuk mengelola kerajaan batik milik keluarga.

Kami dididik di dalam kungkungan tembok-tembok tinggi Laweyan, tuturnya. Nyaris semua rumah di Kampung Laweyan memang berdinding tinggi dengan gaya bangunan art deco. Bagi mereka, sekolah tidak perlu harus sampai ke jenjang yang tinggi, cukup bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Mbok Mase Laweyan zaman dulu sudah mendidik putrinya untuk berdagang dan membuat batik sejak kelas IV SD. Ketika putri mereka sudah lulus SMP, langsung dinikahkan dan diberi usaha sendiri. Saat usaha batik kalah bersaing dengan produksi printing, maka orang Laweyan beralih usaha ke bidang yang lain dan pendidikan setinggi mungkin bagi anak mereka menjadi penting, katanya.

Pada masa itu hingga tahun 2000, generasi muda Laweyan jarang yang tetap melanjutkan usaha batik milik keluarganya. Generasi muda ini memilih menempuh studi hingga jenjang yang tinggi dan bekerja di perusahaan-perusahaan swasta.

Sarjana memang bukan jaminan untuk hidup, tetapi hanya sarana untuk hidup. Selepas lulus sarjana, anak muda Laweyan disuruh kerja di luar kota. Jadi, sukses anak generasi muda Laweyan saat ini bukan karena menjalankan usaha batik, tetapi karena bekerja atau usaha lainnya, kata Mulyani.

Memori kejayaan Kampung Batik Laweyan di masa lampau membuat generasi muda di Laweyan ingin membangkitkan kembali kenangan akan kejayaan itu. Salah satu generasi penerus pembatik, Dr Nanik Perditi, mengawali upaya menghidupkan kembali Kampung Batik Laweyan.

Gayung bersambut, ide ini didukung Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Secara terpisah, Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Solo Febria Roekmi Evy menyatakan, produk unggulan batik di Laweyan nantinya akan menjadi salah satu ikon yang mendukung upaya menjadikan Solo sebagai kota wisata belanja.

Sejak dicanangkan, kehidupan industri batik di sana mulai menggeliat lagi. Sebelumnya, tempat itu seperti tidur dalam hal produksi batik. Jadi, sebenarnya kami hanya menghidupkan apa yang telah ada. Sebagai fokus awal, kami akan mengarahkan wisata belanja ini pada produsen batik, ujar Evy.

Menurut dia, Solo yang dulunya sebagai produsen terbesar produk batik dapat meraih kejayaannya kembali seiring dengan didorongnya kota itu sebagai kota wisata belanja. Ia mencontohkan Kota Pekalongan yang awalnya kurang berkembang, namun lambat laun kota itu akhirnya bisa berubah menjadi produsen batik terbesar.

Kalau saat ini wisatawan yang membeli batik di gerai batik yang dibuka penduduk Laweyan masih sedikit, maka mereka harus bisa bertahan untuk beberapa tahun ke depan. Jika ternyata mereka merasa merugi dan justru menutup gerai batik tersebut, maka upaya mengembalikan kejayaan Kampung Batik Laweyan sebagai sentra batik di Solo menjadi semakin jauh dari harapan, katanya.

Melintasi Kampung Batik Laweyan saat ini, bisa disaksikan beberapa usaha batik yang mulai tumbuh dan berkembang di sana. Hampir di setiap gang kecil sudah bisa dijumpai lagi gerai batik. Patung perempuan pembatik yang tersisa di beberapa sudut gang memberi semacam landmark nuansa kampung batik. Hal ini ditambah adanya gerbang Kampung Batik Laweyan yang pembangunannya difasilitasi Pemkot Solo.

Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret, Soedarmono, menilai, pengembangan Kampung Batik Laweyan saat ini belum menyentuh sisi substansial dari sejarah industri batik yang pernah berkembang di sana.

Pengembangan Kampung Batik Laweyan baru sebatas mencoba menggairahkan perdagangan batik di sana untuk menunjang dan memajukan pariwisata di Solo, belum dikembangkan sebagai sebuah warisan yang utuh.

Sumber : (isw/row/nut) Kompas Cetak

This entry was posted on Selasa, 16 Desember 2008 at Selasa, Desember 16, 2008 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar