Yogyakarta, Daerah Batik yang Dijajah Produk Luar  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

Para pedagang di kawasan Malioboro dan Pasar Beringharjo menjadi salah satu saksi bahwa batik Yogya belum bisa menjadi “raja” di wilayah sendiri. Mereka mengaku enggan menjual batik Yogya karena motifnya yang terlalu berorientasi pada pakem-pakem tradisional dengan corak atau desain yang kurang memenuhi selera pasar. Bahkan, cenderung terasa monoton, hingga berkesan tak memberi ruang bagi dinamika motif. Oleh Boni Dwi

Pada kenyataannya, berbicara tentang produk batik maka juga harus berbicara tentang prospek pasarnya. Apabila ingin tetap bertahan, tampaknya para produsen batik Yogyakarta perlu berupaya keras agar bisa keluar dari citra tadi.

Namun demikian, menurut Budi Suhendar (34), salah seorang pedagang batik di Pasar Beringharjo, Senin (15/5), hal itu bukan berarti ada keharusan menghilangkan citra tradisional batik Yogya. Sebagian konsumen masih tetap ada yang fanatik dengan nuansa tradisional. “Hanya saja, desainnya jangan monoton. Selama ini, produk batik Yogya selalu terbatas pada jarit, selendang, dan batik prada.

Beda dengan batik Pekalongan dan Solo, yang bisa membuat desain kaus santai, hem santai, celana pendek santai. Coba buat desain seperti itu, dengan motif atau corak tradisional, saya jamin pasti laku,” kata Budi yang sudah 20 tahun menjadi penjual batik itu. Kalangan muda Dari kalangan produsen dan toko batik di Yogya sendiri, kesadaran untuk mengembangkan desain batik terutama dilatarbelakangi perubahan gaya hidup manusia modern dibandingkan masa sebelumnya, khususnya di kalangan kaum muda.

Dengan kata lain, tujuan yang ingin diraih adalah jangan sampai batik kehilangan pamor, generasi penerus, dan dilupakan. “Batik tidak sekadar kain sarung, jarit, atau selendang, tetapi juga baju kerja dan baju santai bagi seluruh kalangan. Jangan sampai batik hilang pamor di negeri produsen batik sendiri,” ujar Sodikin, Direktur Batik Pertiwi. Indah Widiarti, Manager Batik Margaria Grup, mengatakan pengembangan desain itu digarap secara serius di tengah optimisme bahwa batik tetap akan digemari oleh sejumlah kalangan di masyarakat dari waktu ke waktu. Sebab, menurut dia, batik sebagai sesuatu yang unik tetapi asli, malah akan dicari orang.

Namun, keduanya menyadari tidak mudah melepaskan anggapan bahwa batik itu berkaitan dengan sesuatu yang formal, resmi, dan berkaitan denga pakem-pakem tertentu, demi memperoleh orisinalitas sebuah produk batik. Apalagi, kondisi semacam itu sudah berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, berpuluh-puluh tahun. Untuk itu, mereka harus melakukan kompromi antara pakem dengan selera pasar.

Kompromi “Kompromi itu mencakup warna, motif, model, serta material yang digunakan. Semuanya digabung menjadi satu konsep khusus mode batik untuk kaum muda,” kata Indah. Sesuai segmen yang dibidik Margaria, yakni kelas menengah-atas, kata Indah, maka warna yang dipilih biasanya adalah warna-warna lembut dengan motif tabur, seperti bunga-bunga kecil, yang lebih menonjol. Material yang dipilih pun lebih banyak berbahan katun maupun paris.

Sodikin dari Pertiwi Grup juga mengaku fokus pada penciptaan desain- desain yang lebih menarik bagi kaum muda, misalnya desain produk batik yang asimetris. Desain batik asimetris itu merupakan desain relatif baru yang lain dari pakem selama ini, di mana batik selalu simetris. Sejak sekitar lima tahun terakhir, pergerakan pasar batik di Yogyakarta justru didominasi oleh batik asal Pekalongan dan Solo. Muncul sebuah anekdot yang cukup ironis dari salah satu pedagang di Pasar Beringharjo, bahwa batik Yogya belum bisa menjadi raja di wilayah sendiri. “Kesannya, Yogya itu sedang terjajah oleh batik luar Yogya. Ini kan lucu.

Padahal, Yogya juga terkenal dengan produk batiknya,” ujar Harni, produsen dan pedagang batik di wilayah Ngasem. Seretnya perkembangan batik Yogya, salah satunya disebabkan kurang inovatifnya para produsen dalam menampilkan desain dan motif. Mungkin, perlu ada semacam “pemberontakan” terhadap pakem yang selama ini telanjur dianggap mapan. Entah apa pun bentuknya, yang jelas itu berawal dari keinginan bahwa batik Yogyakarta tidak boleh tenggelam ditelan zaman…

Sumber : (Pramudyanto dan Benny Dwi Koestanto) Harian Kompas

This entry was posted on Selasa, 16 Desember 2008 at Selasa, Desember 16, 2008 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar