Pesona Batik Tulis: Ketika Nilai Etnis, Tradisi, dan Modern Berpadu  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

Apa yang terlintas di benak anda jika menyebut batik tulis? Boleh jadi, imajinasi anda akan langsung mengembara kepada lembaran kain tradisional Jawa dan Bali yang lumrah dikenakan ibu-ibu berusia lanjut sebagai ‘’seragam” kebesaran harian. Khususnya, kain penutup tubuh dari bagian pinggang hingga ke mata kaki. Bagi perempuan etnis Jawa dan Bali, batik tulis menciptakan nuansa rasa tersendiri. Di samping sudah melegenda, motif-motif kain tempo doeloe yang eksistensinya belum tergoyahkan sampai saat ini menyimpan banyak makna historis.

Namun, di era kekinian ini, fungsi batik tidak l

agi hanya sebatas piranti pembungkus tubuh perempuan bagian bawah yang lumrah disebut kamben. Dalam dunia fashion, batik mulai dipergunakan sebagai bahan baku rancangan sej

umlah desainer papan atas untuk mencitrakan kesan klasik, anggun sekaligus berwibawa. Ragam motifnya pun tidak lagi berkutat pada hal-hal yang berbau etnis-tradisional nan saklek. Tetapi, sudah pasti mendapatkan sentuhan-sentuhan modern sehingga pesona batik sanggup membius penikmat fashion mancanegara.

Batik kini tidak lagi hanya berkutat di tanah leluhurnya sendiri. Namun, hasil perpaduan harmonis antara nilai-nilai etnis-tradisional dengan modern itu pun menjelma jadi karya seni tingkat tinggi yang mampu memuaskan selera masyarakat internasional.

Barangkali, kesuksesan batik — terutama batik tulis –menerobos ketatnya persaingan industri fashion tingkat dunia itu yang mengilhami Desak Putu Nithi (50) menyandarkan sumber penghidupan keluarganya dari batik. Di bawah ”bendera” Nithi’s Collection yang ber-home base di Banjar Tebesaya, Desa Peliatan, Ubud, istri Dewa Nyoman Rai ini intensif menggeluti bisnis batik tulis.

Semula, ibu dua orang putra dan seorang putri ini hanya memproduksi batik tulis untuk bahan baku pakaian (garmen). Namun perkembangan selanjutnya, ibu yang masih terlihat enerjik di usianya yang memasuki separo baya ini memberanikan diri melebarkan sayap bisnisnya ke industri aksesori dan pelengkap interior rumah seperti bedcover, sarung bantal, gorden, taplak meja, pembungkus sandaran dan dudukan kursi/sofa hingga wall hanging (hiasan dinding-red).

Bahkan, saat ini pihaknya mendapat order dari mitra bisnisnya di luar negeri untuk menggarap piranti penutup sekaligus penghias pilar dan langit-langit rumah serta penutup lampu hias dalam jumlah besar. Tentu saja, semua piranti itu menggunakan batik tulis sebagai bahan baku utama.

”Pesona kain batik tulis ini bukan hanya pantas dijadikan bahan baku fashion semata. Kalau kita mau berkreasi dan berinovasi, fungsi batik tulis bisa dikembangkan terus. Ragam motifnya yang bervariasi dan indah-indah juga bisa dijadikan benda pajangan ataupun beragam jenis penghias interior rumah,” kata Desak Putu Nithi ketika mengantarkan Bali Post mengelilingi art shop-nya di kawasan Desa Peliatan, Ubud, belum lama ini.

Perlengkapan Kamar Tidur
Dari beragam produk batik tulis yang diproduksinya, Desak Nithi yang menggeluti bisnis batik tulis sejak dekade 1970-an ini mengaku memberikan porsi perhatian lebih kepada perlengkapan kamar tidur seperti bedcover (sprei), sarung bantal, gorden dan wall hanging. Guna melengkapi kenyamanan tidur konsumennya, pihaknya juga memproduksi piyama batik dengan motif senada dengan perlengkapan kamar tidur lainnya.

Ke depan, Nithi juga terobsesi merancang amature (rumah lampu-red) lampu tidur dengan material dominan batik tulis. ”Saya memang sangat concern menciptakan perlengkapan kamar tidur berbahan baku batik tulis ini. Terus terang, perlengkapan kamar tidur ini memang jadi andalan home industry kami,” ujarnya.

Dia memberikan garansi bahwa seluruh produk batik tulis yang diciptakannya sangat nyaman dipakai. Masalahnya, seluruh bahan bakunya menggunakan kain katun, linen dan sutra pilihan. Produk bedcover, misalnya, dijamin tidak kusut sehabis ditiduri karena sistem penjahitannya dibuat secermat dan seteliti mungkin.

”Penggunaan bahan yang serba pilihan ini juga menjadikan perlengkapan kamar tidur yang kami produksi tidak membuat konsumen kegerahan,” katanya tanpa pretensi mempromosikan produknya.

Menurut Nithi, perlengkapan kamar tidur kini tidak lagi menonjolkan nilai fungsi semata. Selain nyaman ditiduri, piranti yang mengantarkan pemakainya mengembara ke alam mimpi ini juga wajib memenuhi unsur-unsur keindahan untuk mengangkat suasana interior kamar tidur secara keseluruhan. Guna mewujudkan kepentingan itu, pihaknya senantiasa merasa tertantang untuk menciptakan beragam desain batik tulis gres yang lain daripada yang lain.

”Perpaduan yang harmonis antara nilai fungsi dengan nilai-nilai keindahan itu jadi perhatian utama kami setiap kali merencanakan sebuah desain baru. Dengan begitu, batik tulis produksi kami juga sangat layak jika diposisikan sebagai karya seni di luar fungsinya sebagai perlengkapan kamar tidur,” tegasnya.

Nithi melihat ada kecenderungan mulai jenuh dengan perlengkapan kamar tidur yang tampil polos dan sederhana. Realita itulah yang membuat dirinya mencoba peruntungan di bisnis perlengkapan kamar tidur yang kaya motif, warna maupun variasi lainnya. Dan, batik tulis dinilai pantas untuk menjawab kejenuhan konsumen tersebut.

”Saya sengaja memilih batik tulis, bukan batik cetak (stempel), karena batik tulis saya nilai lebih eksklusif, berwibawa dan terkesan mahal. Mengingat proses pengerjaannya secara manual, produk ini tidak akan melimpah sehingga tidak terkesan pasaran,” katanya lagi.

Ditambahkan, bisnis perlengkapan kamar tidur berbahan baku batik tulis di Bali masih jarang yang menekuni sehingga pangsa pasarnya masih terbuka lebar. Dia juga mengaku tidak gentar bersaing dengan kompetitor yang memproduksi perlengkapan kamar tidur dengan teknik batik cetak. Meskipun sepintas terlihat mirip, namun batik tulis dihargai lebih tinggi lantaran nilai artistiknya lebih mencuat.

”Saya juga tidak khawatir desain batik yang saya ciptakan dijiplak dan dimassalkan dalam wujud batik cetak karena setiap saat saya menciptakan desain-desain baru untuk menggantikan desain-desain lama yang sudah dilemparkan ke pasaran,” katanya dan menambahkan, pihaknya mempekerjakan sejumlah desainer yang khusus bertanggung jawab untuk menciptakan desain-desain baru.

Sumber : (w. sumatika) Bali Post

Bangkitnya BATIK LAWEYAN........  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

*Wahyu Haryo PS

Perjalanan sejarah memperlihatkan, eksistensi Kampung Batik Laweyan berkali-kali digerus oleh kekuatan luar yang tidak menghendaki kekuatan ekonomi yang digalang kaum perempuan Mbok Mase ini terus bertengger.

Cerita rakyat dan stereotyping dalam bentuk hukuman lawe dan perempuan Bahu (baca: bau) Laweyan yang mendatangkan bencana bagi suaminya, pernah diembuskan pihak keraton untuk melawan dominasi Mbok Mase. Akibatnya, penghuni Kampung Batik Laweyan serasa dikucilkan dari lingkungan sekitarnya.

Belum lagi posisi tawar ekonomi Kampung Batik Laweyan juga pernah dimanfaatkan untuk kepentingan dukungan politik semasa kabinet parlementer. Kekuatan kongsi dagang di sana juga pernah diadu domba dengan kekuatan kongsi dagang China, yang dirancang oleh Belanda.

Terakhir, kejayaan Kampung Batik Laweyan benar-benar tidak bisa dipertahankan saat kapitalisasi industri batik semasa pemerintahan Orde Baru. Pemodal asing dan kroni Orde Baru masuk ke wilayah di sekitar Laweyan di Sukoharjo dengan teknologi printing yang jauh lebih efisien, cepat, berproduksi secara massal, dan murah.

Teknologi ini jelas bukan tandingan batik tulis dan cap yang ada di Laweyan. Seketika, batik printing dari pemilik modal besar mampu menguasai pasar batik di mana-mana. Batik Laweyan kalah bersaing sehingga kejayaan batik Laweyan tinggal nama.

Suatu kali saya kirim batik ke Surabaya, kok ditolak terus. Lalu saya ajak suami saya ke Pasar Turi di Surabaya. Di sana saya sampai tidak bisa ngomong. Di mana-mana batik berjubel sampai gudangnya luber. Pedagang di sana mengatakan mendapat pasokan dari Jakarta, tak harus membayar dulu seperti kalau membeli dari kami. Mereka digelontor batik ratusan kodi tanpa harus bayar. Gudang mereka sampai tidak muat. Melihat itu kaki saya lemas. Saya menangis. Ke mana lagi kami harus menjual produk kami, ujar Mulyani (69) dengan suara tersendat dan matanya pun basah.

Maka, pada akhir tahun 1994 pabriknya tutup, dengan korban sekitar 100 karyawan yang harus menganggur mendadak. Mulyani bisa jadi salah satu potret Mbok Mase, di mana dia menjanda dari usia 39 tahun dan harus membesarkan tiga putranya sendirian. Kini ketiga putranya sudah selesai pendidikan tinggi dan mapan secara ekonomi.

Menurut dia, produsen batik di Jakarta dengan batik printing-nya mampu memproduksi ratusan kodi sehari, sementara batik cap Laweyan hanya 20 kodi-30 kodi sehari. Bahkan batik tulis memiliki waktu proses sebulan hingga empat bulan.

Kenyataan ini membuat orientasi orang Laweyan terhadap anak-anaknya berubah. Mulyani, yang merupakan generasi ketiga salah satu kerajaan batik di Laweyan milik Haryono, menuturkan, semasa kejayaan batik Laweyan, anak-anak mereka dididik untuk mengelola kerajaan batik milik keluarga.

Kami dididik di dalam kungkungan tembok-tembok tinggi Laweyan, tuturnya. Nyaris semua rumah di Kampung Laweyan memang berdinding tinggi dengan gaya bangunan art deco. Bagi mereka, sekolah tidak perlu harus sampai ke jenjang yang tinggi, cukup bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Mbok Mase Laweyan zaman dulu sudah mendidik putrinya untuk berdagang dan membuat batik sejak kelas IV SD. Ketika putri mereka sudah lulus SMP, langsung dinikahkan dan diberi usaha sendiri. Saat usaha batik kalah bersaing dengan produksi printing, maka orang Laweyan beralih usaha ke bidang yang lain dan pendidikan setinggi mungkin bagi anak mereka menjadi penting, katanya.

Pada masa itu hingga tahun 2000, generasi muda Laweyan jarang yang tetap melanjutkan usaha batik milik keluarganya. Generasi muda ini memilih menempuh studi hingga jenjang yang tinggi dan bekerja di perusahaan-perusahaan swasta.

Sarjana memang bukan jaminan untuk hidup, tetapi hanya sarana untuk hidup. Selepas lulus sarjana, anak muda Laweyan disuruh kerja di luar kota. Jadi, sukses anak generasi muda Laweyan saat ini bukan karena menjalankan usaha batik, tetapi karena bekerja atau usaha lainnya, kata Mulyani.

Memori kejayaan Kampung Batik Laweyan di masa lampau membuat generasi muda di Laweyan ingin membangkitkan kembali kenangan akan kejayaan itu. Salah satu generasi penerus pembatik, Dr Nanik Perditi, mengawali upaya menghidupkan kembali Kampung Batik Laweyan.

Gayung bersambut, ide ini didukung Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Secara terpisah, Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Solo Febria Roekmi Evy menyatakan, produk unggulan batik di Laweyan nantinya akan menjadi salah satu ikon yang mendukung upaya menjadikan Solo sebagai kota wisata belanja.

Sejak dicanangkan, kehidupan industri batik di sana mulai menggeliat lagi. Sebelumnya, tempat itu seperti tidur dalam hal produksi batik. Jadi, sebenarnya kami hanya menghidupkan apa yang telah ada. Sebagai fokus awal, kami akan mengarahkan wisata belanja ini pada produsen batik, ujar Evy.

Menurut dia, Solo yang dulunya sebagai produsen terbesar produk batik dapat meraih kejayaannya kembali seiring dengan didorongnya kota itu sebagai kota wisata belanja. Ia mencontohkan Kota Pekalongan yang awalnya kurang berkembang, namun lambat laun kota itu akhirnya bisa berubah menjadi produsen batik terbesar.

Kalau saat ini wisatawan yang membeli batik di gerai batik yang dibuka penduduk Laweyan masih sedikit, maka mereka harus bisa bertahan untuk beberapa tahun ke depan. Jika ternyata mereka merasa merugi dan justru menutup gerai batik tersebut, maka upaya mengembalikan kejayaan Kampung Batik Laweyan sebagai sentra batik di Solo menjadi semakin jauh dari harapan, katanya.

Melintasi Kampung Batik Laweyan saat ini, bisa disaksikan beberapa usaha batik yang mulai tumbuh dan berkembang di sana. Hampir di setiap gang kecil sudah bisa dijumpai lagi gerai batik. Patung perempuan pembatik yang tersisa di beberapa sudut gang memberi semacam landmark nuansa kampung batik. Hal ini ditambah adanya gerbang Kampung Batik Laweyan yang pembangunannya difasilitasi Pemkot Solo.

Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret, Soedarmono, menilai, pengembangan Kampung Batik Laweyan saat ini belum menyentuh sisi substansial dari sejarah industri batik yang pernah berkembang di sana.

Pengembangan Kampung Batik Laweyan baru sebatas mencoba menggairahkan perdagangan batik di sana untuk menunjang dan memajukan pariwisata di Solo, belum dikembangkan sebagai sebuah warisan yang utuh.

Sumber : (isw/row/nut) Kompas Cetak

Batik Tak Harus dengan Kebaya???  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

Selama ini, batik masih menjadi andalan untuk busana di acara-acara formal. Tak bisa dimungkiri, batik kerap identik dengan kesan tua mengingat pemakai batik adalah mereka yang sudah berumur. Namun, dengan kreativitas tinggi dan kecermatan memilih motif dan warna, batik bisa menjadi pilihan untuk setiap kalangan.

Menurut Tan Han Goen, desainer asal Surabaya, saat ini banyak diproduksi batik dengan motif dan warna yang jauh dari kesan tua. “Tinggal cara memilih dan mendesain kain tersebut,” kata desainer yang beberapa kali mendapatkan sertifikat dari Museum Rekor Indonesia (Muri) atas karya-karyanya tersebut.

Bahkan, menurut dia, kain batik tak harus selalu dipadupadankan dengan kebaya.”Hanya menggunakan kain serta selendangnya saja sudah bisa dijadikan busana,” jelasnya. Caranya pun cukup mudah. Cukup dengan bantuan jarum pentul dan jahitan yang sifatnya tidak permanen, kain-kain batik itu bisa disulap menjadi busana yang modis.

Itu seperti ditampilkan dalam beberapa rancangannya kali ini. Dia menyulap kain koleksi aura batik menjadi busana yang simpel namun modis. Ada yang dibuat mirip kimono, kemben, dan atasan halter neck. Sementara itu, bawahannya cukup diikat dengan teknik ikatan osing.

Desainnya Jangan Terlalu Rumit

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika membuat desain untuk batik. Sebab, batik sudah penuh dengan motif. “Jadi, ada baiknya jika desain yang dibuat tak terlalu rumit,” ujar Tan Han Goen. Desain yang rumit akan membuat pemakainya terlihat lebih ’berat’.

Untuk pria, kemeja sederhana yang chic masih menjadi pilihan. Desain kemeja untuk pria, tidak perlu terlalu njlimet. “Yang penting adalah pemilihan motif,” jelasnya. Penekanan motif di bagian dada bisa membuat kesan bidang. Selain itu, tak ada salahnya jika memilih warna-warna lembut.

Untuk jenis bahan batik, ada beberapa pilihan. Bisa menggunakan batik dari sutra, katun, atau serat nanas. Jenis bahan itu bergantung pada desain dan selera penggunanya. Batik dari bahan katun bisa digunakan untuk busana sehari-hari. Namun, untuk busana pesta atau acara yang lebih formal, bisa dipilih bahan dari sutra.

“Bahan sutra relatif ringan. Jadi, wanita yang berbadan besar sebaiknya tak memilih desain yang melekat tubuh,” tegasnya. Hal tersebut justru membuat kesan elegan batiknya pudar. Batik dari bahan serat nanas sebaiknya digunakan untuk desain-desain yang membutuhkan ketegasan garis.
Sumber : (tia) Jawa Pos

Batik Indonesia di Kancah Batik Dunia  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

Di tengah-tengah beragamnya batik dunia, batik Indonesia memang belum kehilangan ciri khasnya. Batik Jawa Tengah yang dinilai memiliki motif paling kaya pun masih mempunyai roh. Namun, saat negara tetangga gencar mempromosikan batiknya ke berbagai benua, batik Indonesia seakan jalan di tempat.

Artisan batik Iwan Tirtaamidjaja mengakui, kualitas batik Indonesia saat ini makin berkurang. Ibarat wine, esensinya makin berkurang dan terus berkurang hingga akhirnya menjadi air.

Batik yang dipakai untuk busana sehari-hari saat ini sebagian besar memang print bermotif batik. Iwan Tirta sebenarnya termasuk orang yang ”mengharamkan” batik print karena akan mengurangi filosofi batik itu sendiri, seperti pembuatan motif dengan teknik perintang warna memakai malam atau pemakaian canting.

”Batik saat ini banyak, namun makin murah dan makin murah saja. Sebenarnya batik printing juga baik asalkan dibikin yang halus, jangan asal-asalan,” papar Iwan.

Josephine Komara atau Obin mempunyai pandangan berbeda. Meskipun diakui motif batik print makin populer dan dapat membahayakan eksistensi batik tradisional, Obin mencermati bahwa batik tulis, batik cap, maupun batik print telah mempunyai pasar sendiri.

”Batik Indonesia itu unik dan sangat spesial. Jadi, saya rasa tidak perlu mengontradiksikan batik tulis, cap, atau print,” kata Obin.

Memang ada perkembangan menggembirakan dalam hal konsumsi batik saat ini. Jika dulu batik hanya dikenakan untuk acara tertentu, saat ini wilayahnya makin meluas. Batik juga kerap dimodifikasi dengan motif lain untuk busana sehari-hari.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, di Jakarta sendiri banyak orang menggunakan batik bukan hanya untuk busana, namun juga dekorasi rumah. Batik juga digunakan untuk upacara pemakaman, ulang tahun, bahkan seragam kantor.

”Semenjak Gubernur Ali Sadikin, batik khususnya batik Betawi menjadi seragam wajib untuk pegawai. Anak-anak sekolah diharuskan memakai batik sehari dalam seminggu,” ujar Fauzi.

Memosisikan batik
Batik saat ini sebenarnya makin mendunia. Setidaknya itu tergambar dalam simposium tekstil tradisional ASEAN yang diselenggarakan Himpunan Wastraprema, Senin-Selasa (5-6 Desember).

Pembicara dari Malaysia, Sulaiman Abdul Ghani, yang adalah Ketua Batik International Research and Design Access University of Technologi MARA Malaysia memaparkan, tahun 2003 adalah era kembalinya batik Malaysia. Tahun ini, Malaysia bahkan mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.

Padahal, seperti diakui Sulaiman, batik Malaysia yang awalnya berasal dari daerah Trenggano dan Kelantan sebenarnya sangat dipengaruhi batik Indonesia, khususnya dari Cirebon dan Pekalongan. Batik bahkan baru dikenal di Malaysia pada tahun 1920-an dan baru dijadikan industri tahun 1950-an. ”Tahun 1960-an ke atas baru ada identitas Malaysia,” ujar Sulaiman.

Lebih ironis lagi, Malaysia sebenarnya baru mengenal canting sejak tahun 1970-an dan tahun 1985 langsung terpuruk karena tidak ada inovasi dalam desain dan pewarnaan. ”Saat ini, Malaysia sudah bangkit. Kami memadukan motif tradisional dan kontemporer,” jelas Sulaiman.

Batik sekarang populer kembali di mana-mana. Ada batik Thailand, Malaysia, Vietnam, China, India, bahkan Afrika Selatan. Namun, apa sebenarnya batik, orang terkadang masih memperdebatkannya. Apakah pola ragam hias dan penggunaan canting itu penting, juga menjadi perdebatan.

Menurut Iwan, para pembuat batik sebaiknya harus kembali ke dasar. Ragam hias kuno semisal titik, ukel, dan garis itu juga harus dipertahankan. Orang yang mengerti batik sudah seharusnya bisa menceritakan bahwa di balik batik itu ada dongeng dan filosofi.

Ironisnya, orang yang paham batik jarang mempunyai kesempatan menularkan pengetahuan tentang batik. Jika ada pameran batik di luar negeri, yang datang sebagian besar adalah pedagang batik yang berbicara lebih pada harga dan nilai komersialnya.

Batik bagi Iwan adalah ikon Indonesia, seperti halnya jamu atau kerajinan kayu. Oleh karena itu, batik harus selalu dijunjung tinggi, dihormati, dan diletakkan pada aras internasional sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Batik tidak hanya sebagai art to wear, namun juga untuk dekorasi gamelan dan wayang.

”Kelemahan orang tak akan terlihat ketika dia memakai batik, terutama batik tradisional. Yang terlihat justru kekuatan. Itulah mengapa saya bisa hidup dan mengalami masa enam presiden di Indonesia. Di mana pun, kita akan menjadi lebih kaya dengan batik,” jelas Iwan.

Bagi Iwan, tidak perlu lagi mempertentangkan asal muasal batik. Khusus untuk ASEAN, bahkan Asia, sebaiknya digalang kerja sama untuk terus mempromosikan batik. Misalnya dengan membuat motif batik Jawa Tengah di atas kain sari dari Banglades atau motif cinde di atas kain tenun dari India, dan seterusnya.

Sumber : (Susi Ivvaty) Kompas Cetak

Masih Adakah Peluang Batik Dikagumi?  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

BENARKAH batik sudah mati? Alhamdulillah, batik belum mati. Batik masih hidup dan dihidupkan oleh masyarakat dunia. Seluruh dunia mengenal batik sebagai salah satu karya cipta suatu bangsa, dan mengenakannya pada berbagai kesempatan. Batik juga dipakai tidak saja oleh presiden. Tetapi, bahwa batik sudah memasyarakat, seorang petani pun mengenakan batik ketika menjual padinya ke kota. Batik dipakai semua orang dari segala lapisan.

Konferensi Internasional Dunia Batik yang digelar di Yogyakarta dan menyusul di kota-kota lain, setidaknya menegaskan secara formal bahwa batik memang masih hidup. Dan, batik masih dibicarakan karena memiliki daya tariknya yang kuat. Sudah cukup lama orang memakai batik, sudah cukup lama pula batik dibuat orang, sampai hari ini pun kita masih bisa menemukan orang-orang yang membuat batik.

Kita patut pula bangga apabila batik juga dipelajari di berbagai negara, tak cuma di Indonesia. Pernahkah kita membayangkan bahwa di Argentina ada studi mengenai batik? Pernah pulakah kita bayangkan, orang Afrika memakai batik dalam jamuan resmi? Jika kenyataan ini terjadi, barangkali karena batik memiliki nilai. Batik mempunyai sukma yang mampu menghidupkan, tak sekadar barang mati atau barang pajangan.

Batik, di mana-mana batik, tentu menyenangkan. Jika orang datang ke Yogyakarta untuk kepentingan batik, apa artinya? Bila orang datang ke Solo, Banyumas, Pekalongan — daerah-daerah di wilayah Jawa Tengah yang juga dikenal karena batiknya — karena tertarik pada batiknya, apa artinya? Itu artinya, kita sudah bicara batik dalam konteks pariwisata. Batik, bisa mendatangkan devisa. Dengan promosi dan publikasi yang menjangkau dunia, orang akan memburu batik sampai ke pelosok. Bahkan Fred van Oss dari Belanda membayangkan suatu perjalanan batik di Indonesia, tentu menarik bagi pariwisata minat khusus. Mereka bisa diajak tur ke kota-kota di Indonesia yang menghasilkan batik. Dari Tuban, misalnya ke Pekalongan, Banyumas, Lasem, Solo, Yogyakarta, dan tempat-tempat lain yang punya kaitan erat dengan batik. Adalah perjalanan yang menarik dan tekun.

***

INDONESIA, memang penuh sensasi. Banyak perajin batik tradisional yang bertahun-tahun hidup, betapa pun harga batik yang dijual kepada tengkulak tak mahal. Ibu-ibu tua itu dengan tekun menggoreskan cantingnya ke selembar kain. Ibu-ibu tua itulah yang menyulap kain putih menjadi bermotif-motif, walaupun mereka tak memperoleh banyak uang dari hasil kerjanya yang berhari-hari itu, toh mereka puas bisa menyalurkan ekspresinya.

Mereka, para pembatik itu bahkan harus menghadapi tantangan dari berbagai penjuru, hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Sebab, teknologi modern tak pernah dibayangkannya ketika canting-canting itu tetap saja dipegang di tangan kanannya. Tapi, itulah sesungguhnya kehidupan yang sesungguhnya. Dari situlah kita mengenal parang rusak, truntum, ceplok, kawung. Dan, mudah-mudahan generasi muda kita pun masih mengenal berbagai corak dan sebutan batik berikut kapan batik jenis tertentu itu dikenakan.

Tetapi, tahukah para pembatik itu betapa teknologi telah mampu meniru goresan-goresan tangan melalui canting? Sehingga, selain ada batik yang dibuat tekun yang dikenal sebagai batik tulis, ada pula batik cap yang hampir-hampir tak bisa dibedakan. Ya, batik memang sangat menjanjikan. Sampai kapan pun banyak orang bicara batik dari sisi suka dan tidak suka.

Batik pun pada akhirnya tidak hanya sekadar kain yang dibalutkan pada tubuh kita. Lukisan batik pun menjadi bagian dari perjalanan batik yang tak bisa dibendung. Ia menggantung di tembok-tembok. Dipajang di berbagai gedung dan tempat bergengsi. Batik, batik, dan batik seakan menjadi nafas kehidupan. Tak bosan-bosannya pula kita memandang batik, membicarakan batik, mengenakan batik, karena batik ternyata hidup dan berkembang. Bahkan kita pun sampai hati memanipulasi batik.

***

KALAU ada yang bisa dibanggakan pada batik, karena di berbagai daerah ada corak-corak khas. Bila kita datang ke Cirebon untuk melihat batik corak khas Cirebon, umpamanya. Cirebon pun memelihara batik sebagai salah satu kerajinan rakyat. Dalam ragam hias dan warnanya melambangkan arti-arti khusus yang mencerminkan kebijakan hidup. Misalnya batik mega mendung, wadasan, taman arum, paksi naga liman. Desa Trusmi yang terletak sekitar 7 kilometer arah barat dari kota Cirebon, merupakan sentra kerajinan batik yang cukup spesifik.

Atau, kita singgah ke Pekalongan, ke Desa Lawiyan Solo, Desa Wijen Bantul, dalam perjalanan batik yang bisa kita lakukan — disebut Fred van Oss sebagai batik road. Niscaya bisa menumbuhkan wawasan bagi wisatawan. Dan Pulau Jawa memiliki potensi itu, karena banyak daerah di Jawa yang sampai hari ini masih menghasilkan batik. Perjalanan batik ini bisa dirancang, untuk atraksi yang menarik perhatian, tak sekadar mengagumi.

Dari satu desa ke desa lain, batik yang diciptakan itu mencerminkan corak yang khas dan berbeda. Satu desa dengan desa yang lain bisa saling melengkapi. Apabila kita bisa mewujudkan kembali gagasan ini dengan lebih konseptual, mengangkat batik lebih ke permukaan dunia, batik bisa benar-benar menjadi penghasil devisa luar biasa. Batik di Indonesia, barangkali memiliki nilai lebih karena ada filosofinya, simbolnya, dan kaitannya dengan status.

Sumber : (Drs. Arwan Tuti Artha ) KR

Agar Warna Batik tidak cepat PUDAR  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

Ini mengingat warna alam pada batik tulis tersebut sama sekali tidak menggunakan zat-zat kimia dalam pewarnaan.

— Kain batik tulis yang pewarnaannya menggunakan hasil rebusan dari berbagai tumbuhan, terutama dari bagian kulit pohon, akar dan daun itu memang memerlukan penanganan khusus. Di sini untuk warna hijau pada motif batik, misalnya, digunakan warna hasil rebusan daun mangga, adapun akar mengkudu menghasilkan warna merah muda.

— Untuk merawat kain batik tulis dengan pewarna alami, caranya antara lain:

* Mencuci kain batik dengan menggunakan sampo rambut. Sebelumnya, larutkan dulu sampo hingga tak ada lagi bagian yang mengental. Setelah itu baru kain batik dicelupkan.

* Anda juga bisa menggunakan sabun pencuci khusus untuk kain batik yang dijual di pasaran.

* Kain batik tulis jangan dicuci dengan menggunakan mesin cuci. Cara mencuci kain batik seperti ini akan membuat warna alami kain batik tak bertahan lama.

* Sebaiknya Anda juga tidak menjemur kain batik tulis berpewarna alami di bawah sinar matahari langsung.

* Bila Anda ingin memberi pewangi dan pelembut kain pada batik tulis, jangan disemprotkan langsung pada kainnya. Sebelumnya, tutupi dulu kain dengan koran, baru semprotkan cairan pewangi dan pelembut kain.

* Masih dengan koran menutupi kain, Anda bisa menyetrika kain batik berpewarna alami tersebut. Jangan menyetrika langsung pada kainnya karena ini bisa memengaruhi warna motifnya.

* Anda sebaiknya juga tidak menyemprotkan parfum atau minyak wangi langsung ke kain atau pakaian berbahan batik sutera berpewarna alami.

Sumber : (ETA) Kompas cetak, Jakarta

Yogyakarta, Daerah Batik yang Dijajah Produk Luar  

Posted by Pusat Kerajinan Batik Jarum

Para pedagang di kawasan Malioboro dan Pasar Beringharjo menjadi salah satu saksi bahwa batik Yogya belum bisa menjadi “raja” di wilayah sendiri. Mereka mengaku enggan menjual batik Yogya karena motifnya yang terlalu berorientasi pada pakem-pakem tradisional dengan corak atau desain yang kurang memenuhi selera pasar. Bahkan, cenderung terasa monoton, hingga berkesan tak memberi ruang bagi dinamika motif. Oleh Boni Dwi

Pada kenyataannya, berbicara tentang produk batik maka juga harus berbicara tentang prospek pasarnya. Apabila ingin tetap bertahan, tampaknya para produsen batik Yogyakarta perlu berupaya keras agar bisa keluar dari citra tadi.

Namun demikian, menurut Budi Suhendar (34), salah seorang pedagang batik di Pasar Beringharjo, Senin (15/5), hal itu bukan berarti ada keharusan menghilangkan citra tradisional batik Yogya. Sebagian konsumen masih tetap ada yang fanatik dengan nuansa tradisional. “Hanya saja, desainnya jangan monoton. Selama ini, produk batik Yogya selalu terbatas pada jarit, selendang, dan batik prada.

Beda dengan batik Pekalongan dan Solo, yang bisa membuat desain kaus santai, hem santai, celana pendek santai. Coba buat desain seperti itu, dengan motif atau corak tradisional, saya jamin pasti laku,” kata Budi yang sudah 20 tahun menjadi penjual batik itu. Kalangan muda Dari kalangan produsen dan toko batik di Yogya sendiri, kesadaran untuk mengembangkan desain batik terutama dilatarbelakangi perubahan gaya hidup manusia modern dibandingkan masa sebelumnya, khususnya di kalangan kaum muda.

Dengan kata lain, tujuan yang ingin diraih adalah jangan sampai batik kehilangan pamor, generasi penerus, dan dilupakan. “Batik tidak sekadar kain sarung, jarit, atau selendang, tetapi juga baju kerja dan baju santai bagi seluruh kalangan. Jangan sampai batik hilang pamor di negeri produsen batik sendiri,” ujar Sodikin, Direktur Batik Pertiwi. Indah Widiarti, Manager Batik Margaria Grup, mengatakan pengembangan desain itu digarap secara serius di tengah optimisme bahwa batik tetap akan digemari oleh sejumlah kalangan di masyarakat dari waktu ke waktu. Sebab, menurut dia, batik sebagai sesuatu yang unik tetapi asli, malah akan dicari orang.

Namun, keduanya menyadari tidak mudah melepaskan anggapan bahwa batik itu berkaitan dengan sesuatu yang formal, resmi, dan berkaitan denga pakem-pakem tertentu, demi memperoleh orisinalitas sebuah produk batik. Apalagi, kondisi semacam itu sudah berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, berpuluh-puluh tahun. Untuk itu, mereka harus melakukan kompromi antara pakem dengan selera pasar.

Kompromi “Kompromi itu mencakup warna, motif, model, serta material yang digunakan. Semuanya digabung menjadi satu konsep khusus mode batik untuk kaum muda,” kata Indah. Sesuai segmen yang dibidik Margaria, yakni kelas menengah-atas, kata Indah, maka warna yang dipilih biasanya adalah warna-warna lembut dengan motif tabur, seperti bunga-bunga kecil, yang lebih menonjol. Material yang dipilih pun lebih banyak berbahan katun maupun paris.

Sodikin dari Pertiwi Grup juga mengaku fokus pada penciptaan desain- desain yang lebih menarik bagi kaum muda, misalnya desain produk batik yang asimetris. Desain batik asimetris itu merupakan desain relatif baru yang lain dari pakem selama ini, di mana batik selalu simetris. Sejak sekitar lima tahun terakhir, pergerakan pasar batik di Yogyakarta justru didominasi oleh batik asal Pekalongan dan Solo. Muncul sebuah anekdot yang cukup ironis dari salah satu pedagang di Pasar Beringharjo, bahwa batik Yogya belum bisa menjadi raja di wilayah sendiri. “Kesannya, Yogya itu sedang terjajah oleh batik luar Yogya. Ini kan lucu.

Padahal, Yogya juga terkenal dengan produk batiknya,” ujar Harni, produsen dan pedagang batik di wilayah Ngasem. Seretnya perkembangan batik Yogya, salah satunya disebabkan kurang inovatifnya para produsen dalam menampilkan desain dan motif. Mungkin, perlu ada semacam “pemberontakan” terhadap pakem yang selama ini telanjur dianggap mapan. Entah apa pun bentuknya, yang jelas itu berawal dari keinginan bahwa batik Yogyakarta tidak boleh tenggelam ditelan zaman…

Sumber : (Pramudyanto dan Benny Dwi Koestanto) Harian Kompas